Cerita Tentang Bangun Rumah Pertamakali Part 1 : Pondasi Sampai Bangunan Berdiri

29 October 2019
Salam semua,
Akhirnya saya ada waktu untuk cerita panjang dan lebar di blog ini tentang proses bangun rumah. 
Ini pertamakalinya saya dan suami membangun rumah kami, bukan kompleks dan bukan rumah renovasi, tapi benar-benar membangun dari awal pondasinya. 

Lah trus kalau baru bangun rumah, selama ini tinggal dimana? hehehe pernah saya ceritakan sebelumnya di beberapa postingan saya yang sudah lawas, saya juga lupa postingannya mana HAHAHA. 

Jadi, sejak pindah dari Jakarta barneg suami, kami tinggal di sebuah kompleks di kelurahan barombong, sebenarnya perbatasan antara ujung Makassar sisi Barat daya dengan Kabupaten Gowa gitu, ahhaaha, jadi mau ke arah kota, dekat, dan mau ke rumah ummi di Gowa juga dekat. 

Kompleks ini tuh sebenarnya punya Papa saya, sebelum saya tinggali, sebut saja rumah B47, sebelum kami tinggali, rumah B47 ini dikontrak, dan pas papa tau kalau ayahzam sudah mutasi Makassar, dimintalah si pengontrak ini cari kontrakan lain, dan meminta kami untuk menempati rumah B47 ini. Katanya sih ya siapa yang anaknya duluan nikah, boleh tinggali di situ dulu, bukan dikasih. KWKWWKWKWKWK investasi orangtua sih ya hehe. 

Nah, 4 tahun tinggl di rumah B47, kami sebenarnya sambil terus ngomongin soal mau usaha apa, investasi apa? beli ruko di kota yuk gitu, buat studio foto dan cafe kecil-kecilan, tapi Yassalam mahal banget yaaaa ruko di tengah kota HAHAHAHA. Dan masalahnya juga ayahzam gak mau KPR-an, atau nyicil di bank, apalagi sampai masukin SK PNS ke bank, untuk ambil uang banyak sampai berbunga. 

Urung niat beli ruko dan buka usaha, kepikiran lagi untuk renovasi rumah B47 ini, trus ayahzam berpikir "Ini bukan rumah kita, rumah orangtua ini cuma dikasih hak tinggal, bukan hak milik," Ya iya juga sih, jadi ya dijalani lah kehidupan rumahtangga di rumah B47 itu selama 4 tahun lamanya. 

Saya sih nyaman tinggal di sana, gak jauh dari kota, kalau mau ke rumah ummi juga dekat, hanya saja, makin ke sini, kerjaan ayahzam makin padat, kadang pulang dini hari, harus dinas selama beberapa hari, kalau sudah begitu, sisa saya dan anak-anak yang stay di rumah. Mau minta adik atau sepupu nemani nginap juga gak bisa sering, kalau saya yang ke rumah ummi, kasian juga rumah keabaikan dan bibi Ida, ART kami nganggur, tp tetap harus dibayar bulannya hhihi, belum lagi kerjaan saya di komputer juga kan, komputer cuma ada di rumah. Ya mau tak mau harus tetap di rumah saja. 

Sampai suatu hari, entah gimana ceritanya, Papa langsung bilang ke Saya, 
"Kamu mau tinggal di sini? tuh di sebelah tanah kosong, banguni mi itu rumah... biar bisa dekatan, jadi kalau Daeng Nai'mu dinas luar, kamu aman di sini. Anak-anakmu juga aman dan nyaman sama kita ji" 

Di samping rumah papa memang ada tanah kosong, punya om, saudaranya ummi, yang dibeli Papa, dan kalau saya mau bangunin rumah, tanahnya jadi atas namaku deh katanya, HAHAHAAH. 

Saya dan ayahzam gak serta merta bilang iya. Panjang juga proses berpikirnya kami sih, apalagi soalan jarak, ini jauh kemana-mana. Kalau mau ke kantor, harus makan waktu kurang lebih 1 jam, kabupaten Gowa, yang jalan poros menu ke Kota Makassar. Kalau saya sih ya biasa, tapi ayahzam yang gak biasa, baginya masih jauh banget jaraknya. 

Bulan demi bulan, akhirnya sih ayahzam sendiri yang bilang, "Yuk sayang, bikin rumah di situ aja..enak, bisa dekat sama keluarga, kita sama anak-anak juga aman, saya pergi dinas jadi gak khawatir kalau kita sendiri di rumah." 

Asuransi Jiwa Bentuk Cinta Orangtua Kepada Ananknya Untuk Melanjutkan Kehidupan Yang Lebih Baik di Masa Mendatang

01 October 2019
Saya dan suami sering komunikasi mikirin masa depan anak-anak, seperti misalnya tentang sekolahnya mereka, apakah sekolah berbasis agama atau konvensional, biayanya gimana batasannya, persiapannya lanjut dan lain sebagainya.

Karena dulu orangtua saya memperlakukan saya seperti itu, Pada saat pengaturan keuangan, orang tua saya sudah menginginkan saya berkuliah di Universitas Hasanuddin, padahal saya masih SMP waktu itu, jadi saya harus SMA dimana, sudah ditentukan dan disiapkan tentu saja.

Cara mereka menyiapkannya itu berupa investasi dana pendidikan. Keuangan rumah tangga diatur sedemikian rupa oleh ummi saya.

Berbeda dengan suami saya, berjalan apa adanya aja, giliran selesai SMA mau kuliah dimana bergantung ekonomi keluarga, jadi gak tertarget, tapi beruntung bisa jadi sampai sekarang, bekerja dengan baik dan mendapatkan gaji yang cukup untuk keluarga kecil kami.

Itu kalau kedua orangtua kami sehat walafiat sampai melihat kami lulus sarjana, menikah, dan membina keluarga masing-masing. Bagaimana dengan anak yatim piatu yang ditinggal orangtuanya tanpa bekal dana pendidikan? Mereka akan berusaha sendiri mencari uang.

Saya mikirnya malah sampai ke soalan putus asa. Ya gimana kalau mereka putus asa dalam mencari uang dan memikirkan penghidupannya dimasa mendatang?
Gimana kalau mereka jadi menyimpang ? gak maukan kita sebagai orangtua membayangkannya. Iya lah ngebayanginnya aja gak tega ☹

Saking seringnya ngobrolin masa depan anak, saya jadi berusaha juga untuk terus hidup sehat, tapi rupanya itu gak cukup loh, mempersiapkan apa yang perlu disiapkan untuk mereka, gimana nanti kalau saya ninggalin mereka tanpa persiapan apapun?? ⁣

Sambil mikirin itu, saya terus nyari bahan edukasi yang bisa menenangkan saya tentang hal itu.
Kalau kata suami sih ya menabung aja untuk mereka. nanti klo Abang dan dede sudah 20 tahun , cukup gak ya hal yang saya lalukan untuk mereka nanti ? di saat nanti saya sudah gak bisa lagi menemani mereka, apa mereka akan bisa melanjutkan kehidupannya dengan baik? Sebenarnya tiap malam saya tanyakan hal itu ke Ayahnya, obrolan kami selalu seputar ini.

Auto Post Signature