TUNGGU SAMPAI AKU PERGI

23 August 2010
Cerpen pertama saya : di buat sejak 12 January 2005
_______________________________________________________________




“Ini resepnya, harap di konsumsi sebaik-baiknya dan tepat waktu, juga jadwal yang sudah kami tetapkan, jangan sampai ada yang terlewat! Dua bulan bukan waktu yang lama. Ini demi kebaikan kamu” kata Dokter.

Fina yang dinasehati dan dianjurkan oleh dokter, hanya mengangguk sambil terus memperbaiki kerudung hijaunya. Dia melipat kertas yang telah ditulisi resep dokter, dan memasukannya kedalam dompet.

“Iya dok, terimakasih banyak, kalau begitu saya permisi!” Sapa Fina yang beranjak meninggalkan ruangan. Derap langkah kakinya terdengar seperti berlari, tapi dia tetap mencoba untuk terlihat berjalan biasa saja, dia ingin cepat-cepat keluar dari Rumah Sakit yang baunya membuat hidung Fina kurang toleran.

Begitu sampai di halte bis yang tak jauh dari Rumah Sakit tersebut, Fina hanya duduk berdiam diri, orang-orang disekitarnya sibuk untuk menahan kendaraan. Dia termenung, memikirkan selembar kertas yang diberi dokter tadi, sebuah resep untuk mengobati penyakitnya, yang dihitung-hitung resep yang sama untuk kesekian kalinya.

Bis yang harusnya dia tumpangi sudah datang, asap knalpotnya menggempul, bergabung dengan debu dijalanan, terhembus angin, dihirup oleh orang sekitar yang ada disitu, untung Fina menggunakan kerudung hijaunya yang cukup panjang untuk menutupi wajahnya, menghindari asap knalpot bus itu.

“BeTePe… BeTePe…, kompleks Bumi Tamalanrea Permai…!!” teriak kernek bus sambil menggedor-gedorkan pintu busnya supaya didengar orang yang ingin menuju tujuan bus. “Neng kerudung hijau, BeTePe Neng, gak naik?” Tanya kernek itu pada Fina yang daritadi hanya duduk diam saja.

“Gak Bang! lagi nunggu orang…” jawab Fina sambil tersenyum.
“Oh nunggu orang? Gaya bener? Nunggu orang di halte, di café aja sana!” ujar sang kernek sambil berlalu pergi.

Fina sendiri tak habis pikir, dia menunggu seseorang. Padahal dia belum melakukan apa-apa, menelepon juga belum, hatinya masih bimbang antara ingin menelepon atau tidak usah. Takut merepotkan tapi sangat butuh. Fina sangat ingin bertemu dengan Sahid saat ini.

Sahid lelaki berusia 27 tahun, yang empat tahun lebih tua daripada Fina, adalah pacar Fina selama kurang lebih satu tahun ini. Yang sekarang ini, disaat Fina bimbang ingin menghubunginya, Sahid sedang berada disebuah restoran mahal dan terkenal, tidak sendirian. Dia bersama sekretaris barunya yang sangat amat cantik jelita, ternyata hubungan antara pemimpin perusahaan dengan sekretarisnya itu bukan hanya sekedar hubungan kerja atau pertemanan, Sahid dan Lola, sekretarisnya. Ternyata telah menjalin hubungan diam-diam dibelakang Fina selama tiga bulan lebih.
Sahid sedang asyik menyuapi sesendok nasi kepada Lola, dan menuangkan minuman, bercanda ria, tertawa dengan senang sambil mentowel pipi Lola, berpelukan mesra didepan umum, lalu berangkat lagi menuju pusat pertokoan, mebelah beli busana, sepatu, dan lainnya kebutuhan Lola, Sahid hanya menemani sambil merangkul wanita seksi itu. Cukup lama kebersamaan mereka, hingga handphone Sahid berdering dan diangkatnya. Dia tahu kalau itu Fina, Pacarnya yang sah.
“Halo?” Ucap Sahid
Fina diseberang sana masih berdiam, belum menjawab sapaan Sahid ditelepon.
“Fina, ada apa?” Tanya Sahid datar.
“Bisa ketemu? Ada yang… yang… mau saya omongin…”
Sahid menaikkan alisnya, disampingnya ada Lola bertengger dibahunya, “Bisa, kapan? Kebetulan saya juga ada yang mau diomongin sama kamu…”
“Dirumahku jam tujuh malam ini, datang ya…!”
“Iya…”
“Klik” telepon terputus, itu saja. Mereka hanya buat janji temu, setelah menutup telepon, Fina tidak langsung beranjak dari tempat duduknya dihalte, dia masih merenung, wajahnya yang tertutup kerudung hijau tampak suram dan pucat, harusnya dia tadi meminta Sahid untuk menjemputnya. Selain itu dia juga jadi bertanya-tanya hal apa yang ingin disampaikan Sahid padanya.
“Lola sayang, mungkin setelah malam ini, kita sudah bisa bebas berpacaran, Karena kurasa malam ini aku akan jelaisn semuanya ke Fina, dia mungkin bakalan ngerti hubungan kita…” Ujar Sahid sambil memeluk Lola.
Dan menuju malam hari, janji temu antara Sahid dan Fina, tak henti-hentinya Sahid bernyanyi dalam hati, dia akan melepaskan ikatan kasihnya dengan Fina karena mencintai gadis yang cantik jelita dan seksi itu, entahlah relung hatinya terhadap Fina mulai gelap, dia tak lagi merasakan manis manja Fina padanya, seperti pupus saja.
Setelah sampai dirumah Fina, Sahid dipersilahkan duduk oleh Fina, wajah Sahid agak tegang melihat raut muka Fina yang cukup pucat, bibirnya kering, dan mungkin karena insomnia membuat bekas dikelopak matanya. Sementara Fina terus memasang senyum.
“Makasih ya udah datang…” sapa Fina sambil menyuguhkan teh hangat kesukaan Sahid.
“Iya sama-sama, sebenarnya apa yang mau kamu omongin ke aku?” Sahid memulai pembicaraan sembari menyerutup teh hangat itu.
Fina terdiam, dia menunduk, perasaannya campur aduk, antara, takut dan bingung. Hal yang sama sekali belum pernah dia beritahu kepada Sahid selama mereka bersama.

Sahid juga kelihatan bingung, dia hanya penasaran tatapannya tak lepas dari Fina yang hendak berusaha mengatakan sesuatu. Fina memandang Sahid sambil tersenyum, matanya berkaca-kaca, dia terus smemandangi wajah Sahid yang baginya adalah wajah seornag malaikat penjaganya yang senantiasa membuat perasaan dan jiwanya menjadi tenang, yang menjadi kehangatan di saat malam dingin dan yang menjadi sinar terang di saat kegelapan. Sahid membalas tatapan Fina, hatinya mulai tersentuh lagi oleh pandangan mata Fina yang seperti itu, sudah lama dia tak memandang mata Fina seperti itu, dia jadi agak keki, dan cepat-cepat mengalihkan perhatiannya.

“Fina… aku sepertinya masih ada tugas kantor, jadi setelah dari sini aku harus segera ke rumah Pak Dahlan mengambil berkas… jadi ada apa?”
Fina tersenyum dan meminta maaf, kemudian beranjak menuju salah satu ruangan dirumahnya, mengambil dompetnya dan mengambil kertas, lalu kertas itu diperlihatkan pada Sahid. Sahid dengan tegang menerimanya, matanya tak lepas dari ekpspresi penuh tanya.

Setelah memegang kertas itu, Sahid mulai membaca deretan tulisan-tulisan yang memenuhi kertas itu, satu persatu dibaca dan dipahami, terus hingga ia melihat sebuah tandatangan. Bola matanya membulat, bibir dan tangannya gemetar setelah membaca isi dari ketas yang diberikan Fina tadi.

Dia menatap mata Fina dengan tajam, dia beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Fina yang berdiri tak jauh, memegang bahunya dengan erat.
“Kenapa ini bisa terjadi?” Suara Sahid gemetar.

Fina berusaha tetap tersenyum, dan menghasilkan sebuah tawa, tapi airmatanya tak bisa dibendung lagi, dia menangis tapi dia juga tersenyum bahkan tertawa saja tanpa bisa menjawab pertanyaan Sahid.

Sahid mengulang pertanyaannya, kali ini dengan suara yang lantang, dan mengguncang tubuh Fina, Fina tetap menangis sambil tersenyum, menggeleng karena tak tahu jawabannya, dan menggangguk karena ini benar-benar terjadi padanya. Sahid memeluk Fina dengan erat, airmatanya mulai menetes, dia terus mengulang pertanyaannya dalam tangisan dan Fina dalam pelukannya hanya dapat mencoba tersenyum saja.

Kertas putih, yang tadi dibaca Sahid, jatuh kelantai, kertas itu beserta isinya yang merubah segala rencana Sahid terhadap Fina, tak ada lagi Lola, dia jadi melupakan semua berbagai alasan yang akan dikatakannya pada Fina. Hatinya ikut hancur dia tak lagi bernyanyi dalam hati karena senang, suara yang terdengar kini hanya isak tangis mereka berdua. Kertas putih yang bertuliskan “SYAFINA-GOL DARAH AB- PENYAKIT TUMOR OTAK –END’S STADIUM, PENOLAKAN OPERASI MEMBUAT DAYA TAHAN PASIEN KURANG LEBIH DUA BULAN…”
Tak ada lagi janji temu dengan orang-orang kantor, dia hanya ingin Fina dalam pelukannya.

Dia sama sekali tak dapat menerima perlakuannya terhadap Fina, dia tanpa sengaja membiarkan Fina menderita sendirian sementara dia bersenang-senang dibelakang Fina, sungguh kejam. Pikir Sahid. Mulai deitik ini, dia akan menghabiskan dua bulan sisa hidup Fina bersamanya, waktu yang ada hanya akan dia gunakan untuk bersama Fina.
Keesokan harinya, Sahid menemui Lola dikantor, Lola begitu tampak senang dan segera berlari menuju pelukan Sahid, tapi Sahid menepisnya dan berkata, “Kita tidak bisa bersama lagi, hidupku hanya untuk Fina, maaf…”
Lola sempat tidak menerima, dia menangis marah pada Sahid, tapi Sahid tidak memperdulikannya, karena dia yakin, Lola yang cantik jelita itu bisa menemukan pendamping hidup dengan mudah. Mulai saat ini, saat pulang kerja. Sahid langsung menemui Fina.

***

Fina terbaring di Rumah Sakit, dia dirawat intensive untuk chemoteraphy, ini pun berkat bujukan Sahid, karena sebelumnya, Fina tak pernah mau dirawat diRumah Sakit. Fina yang terbaring dibangunkan oleh Sahid untuk mengisi perutnya dengan bubur ayam hangat, Sahid menyuapi Fina sesendok bubur, lalu mengambilkan air minum untuk Fina, siang malam Sahid menjaga Fina, tak pernah lelah mengambilkan semua segala kebutuhan Fina, dia merawat Fina, memberinya obat yang dianjurkan doketer sesuai jadwalnya, merawatnya dengan ikhlas. Membuat Fina bahagia, mengisi waktu dua bulan yang tersisa untuk Fina.

Sudah tepat sebulan Fina dirawat, keadaannya semakin lemah, badannya mulai kurus, rambutnya rontok karena chemoteraphy yang dijalaninya, tapi ditutupi oleh kerudung hijau miliknya, matanya seperti tenggelam, wajahnya menguning, banyak memar ditubuhnya, saluran pernafasannya juga mulai memakai oksigen, dalam keadaan seperti itu, Sahid masih tetap menjaganya, berada disisinya menemaninya dan membantunya kuat.
***


Suatu malam, Fina ingin diajak jalan-jalan ketaman Rumah Sakit itu dengan kursi roda, Sahid mengabulkan permintaannya, sebenarnya semua dan apapun permintaan Fina asal Fina bahagia, Sahid akan mengabulkannya. Sahid pun mendorong kursi rodanya, membawa Fina ketaman.

Fina memandangi bulan, “Bulan malam ini cantik ya…” ujarnya lemah.
Sahid pindah kehadapan Fina, “Masih kalah sama kamu, kamu masih lebih cantik daripada bulan…” ucapnya sambil tersenyum lembut.
Fina begitu senang, juga begitu terharu, matanya berkaca-kaca, “Sahid…, kalau aku pergi…” belum sempat Fina melanjutkan perkataannya, dia merasakan bibirnya dingin, karena Sahid menciumnya dengan lembut, badannya terasa hangat karena pelukan Sahid yang erat.

Sahid begitu ingin membuktikan cintanya pada Fina, biar bulan dan bintang pada malam itu menjadi saksi kesetiaan Sahid, walau hanya sedikit waktu, tapi perasaan yang diterima Fina darinya tidak sedikit, tapi sangat amat banyak, bahkan lebih daripada apa yang seharusnya pantas dia terima. Biar bulan dan bintang menjadi saksi atas perasaan yang dialami Sahid bukan karena rasa simpati, tapi perasaan cinta yang dulu hampir hilang, hampir redup, kini bangkit kembali, terang kembali, bukan karena rasa kasihan, tapi karena Sahid hanya benar-benar merasakan hatinya hangat dan tenang hanya pada saat berada disisi Fina. Biar bulan dan bintang jadi saksi atas keinginan Sahid untuk menjadi malaikat penjaga bagi Fina, yang menjadi selimutnya yang hangat saat dia kedinginan, yang menjadi cahaya disaat dia merasa gelap, karena Fina bagaikan jiwanya.

“Kau tak akan kemana-mana…”
Sahid terus memandang mata lembut milik Fina, “Selamanya… kau hanya akan ada dihatiku, tak akan pergi kemana-mana… kalaupun itu terjadi, aku yang akan selalu bersamamu kemanapun kau pergi…”

Sahid memegangi kedua pipi Fina yang dibasahi airmata, “Ehem, jangan menangis, kau jelek kalau menangis…” Sahid melap pipi Fina dengan kerudung hijau milik Fina yang dipakainya, “Aku tak bawa saputangan, untungnya aku memberimu kerudung hijau tahun lalu sebagai hadiah kau telah menerima cintaku…”
“Dulu waktu aku meneleponmu, kau bilang, kau juga ada hal yang ingin dibicarakan padaku. Apa itu…?”
Pertanyaan Fina agak membuat Sahid terbelak.
Fina memiringkan kepalanya dan mengulang pertanyaannya sembari tersenyum dan memegangi pipi Sahid. Dia menanti jawaban.

Sahid berdiri, dia membelakangi Fina, dia tak tahu harus member argument apa pada Fina, apa ini waktu yang tepat, apa ini kondisi yang tepat, apa ini situasi yang tepat. Walau bagaimanapun, Sahid tak pandai bercanda, tak pandai membuat berbagai alasan untuk meyakinkan orang agar percaya dan menunggu jawabannya. Fina pun tahu itu, jadi dia tak punya waktu untuk mengelak apalagi untuk melewati pertanyaan Fina.

Sahid kembali jongkok dihadapan Fina, menatap mata Fina dalam-dalam, “Aku pernah mencoba… untuk mencintai wanita lain selain kau…” Sahid menggenggam tangan Fina, “Kupikir bisa, dan nyatanya aku tak bisa…” jawabnya, dia menutup mata dan mencium jemari Fina dengan lembut. Berharap Fina bisa merasakannya. Dia membuka matanya, menatap mata Fina dan menatap senyuman Fina yang tulus, dia membalas senyum itu, matanya berkaca-kaca mengagumi keikhlasan Fina padanya.

Fina memeluk Sahid dengan erat, “Tunggulah sampai aku pergi… kau akan bisa mencintai Lola seperti mencintaiku, Lola gadis yang baik, pulihkan sakit hatinya terhadapmu. Tapi tunggulah sampai aku pergi…” dan bahu Sahid basah karena airmata Fina yang mengalir, “Aku minta maaf karena telah memaksamu untuk kumiliki dalam sisa-sisa hidupku, sampaikan maafku pada Lola…”

Fina tak membiarkan Sahid untuk berkata apa-apa, Fina tak membiarkan Sahid melepas pelukannya. Sahid dalam kagetnya terus berusaha melepaskan pertanyaan, darimana Fina tahu tentang hubungannya dengan Lola? Jadi selama ini Fina menahan perih dihatinya, menahan semua luka-luka yang menyayat jiwanya. Bertambah lagi rasa bersalah dalam diri Sahid, tapi karena balutan kasih, rasa bersalah itu berubah menjadi rasa yang penuh cinta, rasa yang ingin melindungi, Sahid memeluk Fina dengan erat.
“Aku tak akan melepaskanmu…”

Sambutlah fajar maka aku akan tersenyum melihatmu, jangan pernah ragu untuk ikhlas melpaskan seseorang, jangan pernah ragu untuk ihklas menjadi malaikat penjaga yang senantiasa menghangatkan dikala orang lain sedang kedinginan, dan menjadi cahaya saat gelap.
Seperti Sahid yang telah memberi lentera cahaya yang sangat terang pada Fina, dalam sisa-sisa hidupnya.


***









Sebulan setelah kepergian Fina, relung hatinya mulai gelap, karena tak ada lagi cahaya, tak ada lagi senyum kehangatan Fina yang membuat tenang, tak ada lagi tatapan tulus mata Fina yang membuat kehangatan dalam jiwanya.

Dia menyesali perhitungan waktu saat dia bersama dengan Fina, setahun lebih berpacaran dengannya tapi saat kebersamaan terlama hanya sampai dua bulan saja, apa yang dia lakukan dalam sepuluh bulan? Kemana dia dalam sepuluh bulan tersisa saat masih menyandang statusnya sebagai pacar Fina? Betapa tidak sadarnya dia.

Kerudung hijau yang digenggamnya kini mulai basah, bukan karena airmata. Tapi karena air Hujan. Sahid berada di halte bus tempat ia dan Fina pertamakali bertemu, tanpa kendaraan dan tanpa payung dia mengendap endapkan kakinya di aspal, tujuannya tak jelas, kini ia tak tahu lagi kemana hatinya akan berlabuh dirinya bagai layang-layang yang putus dan terkepak-kepak tak tentu arah. Sementara hujan terus mengguyur kota tempatnya berpijak.

Bola mata elangnya yang sayup terbuka lebar, dia kaget melihat sesosok wanita yang memakai kerudung hijau sedang berlarian menuju arahnya untuk mencari tempat berteduh dari hujan, senyumnya mengambang, “Syafina…” katanya.

Tapi wanita berkerudung hijau itu melewati Sahid, dia sama sekali tak mengenali Sahid, Sahidpun menghela nafas panjangnya dan menghembuskannya kembali, membuang senyumnya yang beberapa saat lalu terukir. Yah… setiap saat Sahid melihat wanita berkerudung hijau dia selalu teringat pada Fina. Ingin rasanya ia memutar waktu untuk kembali. Mengulang saat-saat mengetahui berapa banyak waktu yang dilewati Fina tanpanya.

Angin begitu kencang, menghempas kerudung hijau yang digenggam Sahid dengan lemah, Sahid bangun dari lamunannya, dia baru saja ingin mengambil kerudung hijau. Tetapi ada jemari lentik yang mendahuluinya.

“Sahid…!!!” Suara merdu yang dikenali Sahid menggema ditelinganya.
Dia mendongak, mendapati sesosok wanita berambut ikal, membawa payung hitam, berjalan menuju arahnya, samar-samar Sahid berusaha mengenali wajah wanita itu, senyum mulai kembali terukir diwajahnya dan seketika itu pun dengan hembusan nafasnya, senyumnya kembali hilang.
“Lola…?”

Lola segera memayungi Sahid dan mengambilkan kerudung hijau yang digenggamnya untuk Sahid, Lola mengantarnya kembali. Mereka berdua menyusuri sisi jalan dibawah naungan payung Hitam. Kerudung hijau yang digenggam Sahid terlepas lagi dari tangannya karena angin kencang. Sahid hanya memandanginya. Tetapi Lola berusaha mengejar, dan mengambil kembali kerudung hijau itu, namun Sahid menahan langkahnya.

Sahid memandangi Lola dalam, entah itu airmata atau airhujan yang menempel dipelupuk matanya dan jatuh membasahi seluruh wajahnya, Lola membalas pandangan mata Sahid dengan penuh tanya, Hati Lola ingin segera beranjak memunguti kerudung hijau itu yang sudah jauh. Sahid menggeleng. Tidak membiarkan Lola melakukan keinginannya. Dan mereka pun berjalan menjauh.

Ada banyak kata yang tak perlu diucapkan, cukup dirasakan saja dengan perubahan, jangan berkata apa-apa kalau itu menyakitkan. Tunggulah sampai aku pergi…, setelah itu katakanlah yang kau rasakan.
Post Comment
Post a Comment

Auto Post Signature