Si Mage, Tetangga cantik yang sakit jiwa

27 May 2011
Waktu saya kecil dulu, di dekat rumah saya tinggal seorang wanita cantik, sebut saja mage . Ia dikaruniai wajah cantik dan kulit bersih, tetapi jiwa dan pikirannya kosong. umurnya waktu tahun 1999 adalah sekitar 20 tahun. Saya tidak tahu apa penyebabnya, yang jelas dia sakit jiwa, pikirannya tidak normal, dan dia tidak memiliki kemampuan mengontrol perilakunya.

Kami, saya dan anak-anak kecil di sekitar rumah, suka menggoda Mage. Kami memanggil-manggil namanya, lalu berteriak bersama-sama : “Mage … buka tokooo… !!”. Maka Mage pun akan membuka ‘toko’nya, yaitu mengangkat roknya hingga setinggi pinggang. Setelah Mage ‘membuka toko’, anak-anak akan tertawa berderai-derai dan bersorak-sorak ….

Puluhan tahun kemudian, detik ini, ketika menulis posting ini, saya menangis. Alangkah jahatnya perilaku kami waktu itu. Alangkah buruknya moral kami! Mage maafkan kami, maafkan kami, maafkan kami ….. Saya tak bisa minta maaf langsung kepadanya, karena kudengar kabar wanita malang itu sudah berpulang. Saya berdoa, semoga Allah memberi ia tempat yang terbaik di sisiNya …



Saya tak tahu, mengapa pada waktu itu tidak ada yang menegur atau mengajarkan kepada kami, anak-anak, bahwa kita tidak boleh memperlakukan orang sakit jiwa dengan buruk. Orang tua saya, juga orang tua teman-teman saya, memang tidak tahu kelakuan nakal kami, tetapi mereka tahu tentang keberadaan Mage, dan semestinya mengajarkan kepada kami bagaimana seharusnya memperlakukan orang yang sakit seperti dirinya. Kenyataannya, masyarakat justru menjadikan orang sakit jiwa sebagai bulan-bulanan : ditonton, dihina, ditertawakan, dipermainkan, meskipun juga ditakuti kalau dia mulai mengamuk.

Apa yang terjadi dengan nurani kita?

Padahal, . penderita sakit jiwa adalah manusia juga. Sakit jiwa adalah ciptaan Tuhan juga. Jika kita menghina mereka, bukankah sama saja kita menghina Tuhan? Mereka adalah insan-insan yang malang, yang menderita sakit bukan karena kemauan atau kesalahan mereka sendiri. Seharusnya kita, orang-orang yang waras ini, mengasihani, mengasihi, dan melindungi mereka.

Manusia terdiri atas unsur fisik dan psikis. Jika kita sakit fisik, maka badan kita yang menderita. Nah, jika yang sakit adalah psikis kita, maka jiwa kita yang sengsara. Tak seorangpun ingin menderita sakit fisik, tetapi lebih-lebih lagi, tak seorang pun bercita-cita sakit jiwa (ya iyalah … emang nggak ada cita-cita yang lain?). Orang yang sakit fisik akan mendatangkan rasa iba dan simpati dari orang lain. Keluarga, kerabat, dan sahabat berbondong-bondong menjenguk, membawakan berbagai buah tangan, menghibur dan mendoakan agar si sakit cepat sembuh. Tetapi ketika seseorang sakit jiwa, ia akan mendatangkan rasa malu dan aib bagi keluarga dan lingkungannya. Tak seorangpun mau menjenguk, bahkan cenderung menghindar jauh-jauh. Mengapa demikian besar perbedaan akibat penyakit ini pada diri seseorang?

Masih buanyaak lagi jenis penyakit psikis yang lain, yang bagi kita mungkin terdengar aneh atau menggelikan. Misalnya, ada penderita sakit jiwa yang merasa dirinya adalah kipas angin, sehingga ia mewajibkan dirinya selalu berdiri di pojok untuk memberikan kesejukan angin semilir kepada orang lain …seperti yang kulihat di televisi.

Yang menyulitkan dan seringkali menimbulkan dilema adalah jika penderita sakit jiwa bersikap agresif dan membahayakan orang lain. Pada masyarakat kelas bawah seperti di lingkunganku, seringkali nasib penderita seperti ini berakhir di balok kayu pasungan, karena keluarga dan masyarakat sudah tidak mampu lagi mengendalikan dia, sementara untuk membawa ke rumah sakit tak ada biaya. Di rumah sakit pun ada pasien-pasien yang harus dikurung di balik jeruji besi, karena perilakunya yang tak terkendali.

Mengapa Tuhan menciptakan penyakit jiwa, yang membuat penderitanya kehilangan kemanusiaannya?

Barangkali sama seperti ketika Tuhan menciptakan tsunami, gempa bumi, gunung meletus, dan bencana-bencana alam yang bukan akibat kesalahan manusia. Yaitu sebagai ujian bagi kita yang dikaruniai jiwa dan pikiran waras, apakah kita bersyukur atas nikmat yang dikaruniakan kepada kita, dan mewujudkannya dengan berbagi kasih kepada sesama manusia yang kurang memperoleh nikmat, atau kita justru kufur dengan mencampakkan mereka. Bagi para penderita sakit jiwa, yang benar-benar kehilangan kesadarannya, sesungguhnya Allah telah melimpahkan nikmat kepada mereka, karena di akhirat kelak mereka dibebaskan dari tanggung jawab atas hidup mereka di dunia. Wallahu a’lam. (bukan berarti pengen sakit jiwa... hihi :p)

Bagi para pemilik jiwa yang retak, yang hidup terisolasi dalam alamnya sendiri, pasti kelak Tuhan akan menjemput anda dengan tersenyum... ^_^ semoga kau tenang di alam sana Mage...

Pertanyaannya, apakah narsis termasuk penyakit jiwa? Kalau iya, jangan-jangan banyak sekali penderita sakit jiwa di dunia maya (selesai posting tulisan ini cepat-cepat periksa ke psikiater ah …. haduh, deg-degan juga, kan menurut teori, orang yang sakit jiwa tak merasa dirinya sakit … hiks!)

Auto Post Signature